Chandra Foetra ; Jika Masyarakat Memilih Calon Kepala Daerah Karena Politik Uang, Sama Halnya Melahirkan Sosok Pemimpin Yang Akan Korupsi!!!

Tasikmalaya, Jawa Barat | intelpostnews.com

Mendekati pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak tahun 2024 yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 November mendatang, tentunya para calon Kepala Daerah baik Gubernur dan Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dan Bupati atau Wakil Bupati akan mengumbar janji manis kepada masyarakat dengan sejumlah program ataupun visi dan misi mereka sendiri. Tidak jarang juga sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau bingkisan sembako untuk menarik perhatian masyarakat yang berharap memilihnya. Secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menuntun ke berbagai jenis korupsi lainnya di kemudian hari.

Politik uang atau yang dikenal dengan money politik adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap. Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Para calon Kepala Daerah baik Gubernur dan Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dan Bupati dan Wakil Bupati yang melakukan money politik akan merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan seperti menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang atau money politik disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia (DPC PWRI) Kabupaten Tasikmalaya Chandra Foetra S mengatakan, “Politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis. Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia (Kepala Daerah) yang didukungnya terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi”, ungkapnya.

Selain itu, dirinyapun mengatakan, Fenomena politik uang atau money politik menjadi ancaman serius menjelang pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak tahun 2024 ini. Dirinya pun mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk ikut mengawal Pilkada dengan menentang dan menolak praktik politik uang atau money politik yang dapat menjelma menjadi korupsi. Karena menurutnya, jika masyarakat memilih calon Kepala Daerah (Gubenur dan Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dan Bupati dan Wakil Bupati) karena politik uang atau money politik, sama halnya masyarakat tersebut melahirkan calon pemimpin atau Kepala Daerah yang akan melakukan tindakan korupsi dikemudian hari ketika dirinya telah terpilih dan menjabat.

“Fenomena politik uang atau money politik menjadi ancaman serius menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Tahun 2024 ini. Maka dari itu saya mengimbau kepada seluruh masyarakat khususnya yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dan umumnya di seluruh Indonesia untuk ikut mengawal Pemilu ataupun Pilkada dengan menentang dan menolak praktik politik uang atau money politik yang dapat menjelma menjadi korupsi. Karena jika masyarakat memilih calon Kepala Daerah karena politik uang atau money politik, sama halnya masyarakat tersebut melahirkan calon pemimpin atau Kepala Daerah yang akan melakukan tindakan korupsi dikemudian hari ketika dirinya telah terpilih dan menjabat. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika setiap penyelenggaraan Pemilu ataupun Pilkada baik tingkat nasional maupun tingkat daerah masih dikotori dengan politik uang. Apabila masyarakat dengan senang hati menerima politik uang, maka perilaku tersebut dapat memberatkan para Kepala Daerah serta Wakil Rakyat. Sebab, ongkos politik atau demokrasi yang tergolong sangat mahal dapat memicu oknum Kepala Daerah atau Wakil Rakyat melakukan tindak pidana korupsi“, ungkapnya.

Lebih lanjut Chandra pun menegaskan, “Jika para Wakil Rakyat (anggota legislatif) dan Kepala Daerah yang terpilih karena sudah melakukan politik uang atau money politik, mereka bakal berhitung ongkos yang telah dikeluarkan untuk mengikuti kontestasi jabatan politik. Ongkos tersebut pun bakal diupayakan agar kembali modal dikemudian hari saat dirinya telah menjabat. Praktik balik modal yang dilakukan oleh oknum anggota legislatif ataupun Kepala Daerah yang terpilih karena melakukan politik uang atau money politik tersebut dengan berbagai macam hal, karena sudah jelas, gaji mereka selama 5 tahun menjabat sebagai anggota legislatif ataupun Kepala Daerah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan biaya mereka pada saat mencalonkan dirinya sebagai calon anggota legislatif ataupun calon Kepala Daerah dengan melakukan politik uang atau money politik demi mendapatkan suara dari masyarakat”, tegas Chandra. (Hendi Wiro/Iwan).

Tinggalkan Balasan