IntelPostNews.com | Tasikmalaya, Jawa Barat,- Pengadaan barang dan jasa adalah suatu kegiatan untuk memperoleh barang atau jasa yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang atau jasa. Pengadaan barang dan jasa sendiri dapat dibagi menjadi dua, yakni pengadaan barang dan jasa pada sektor pemerintah serta pengadaan barang dan jasa swasta atau perusahaan. Pengadaan barang dan jasa pada sektor pemerintahan memiliki proses yang lebih rumit dibandingkan dengan pengadaan barang dan jasa pada sektor lainnya, hal ini dikarenakan pembiayaannya berkaitan dengan APBN atau APBD sehingga segala proses yang terjadi harus dapat di pertanggungjawabkan dengan sejelas-jelasnya. Sedangkan Pengadaan barang dan jasa pada sektor perusahaan atau swasta, prosesnya lebih sederhana dan lebih mudah dibandingkan pada pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pada pengadaan di sektor swasta, aturan-aturan pengadaan barang dan jasa cenderung mengacu pada kebijakan instansi atau perusahaan masing-masing.
Menurut Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 16 Tahun 2018 disebutkan bahwa, Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Kegiatan pengadaan barang dan jasa tersebut dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh Penyedia barang/jasa.
Sedangkan tujuan dari pengadaan barang dan jasa di sektor Pemerintah sendiri mempunyai peran penting dalam mensukseskan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan pelayanan publik baik pusat maupun daerah. Adapun tujuan dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan Perpres No. 16 tahun 2018, yaitu ; Menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri. Meningkatkan peran serta usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah. Meningkatkan peran pelaku usaha nasional. Mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil penelitian. Meningkatkan keikutsertaan industri kreatif.
Mendorong pemerataan ekonomi. Mendorong pengadaan berkelanjutan.
Namun pengertian dan tujuan dari pengadaan barang dan jasa tersebut diatas, masih dijadikan ajang manfaat oleh beberapa oknum di tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mencari keuntungan pribadi ataupun bersama-sama dengan sejumlah pola dan indikasi modus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Seperti yang dikatakan oleh Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia (DPC PWRI) Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat, Chandra Foetra S, menurutnya hal itu bisa dilihat melalui tiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan, kontrak, pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi. Chandra pun menjelaskan, sebagai tindakan yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara, tindak pidana korupsi dapat menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Salah satu sektor yang rawan korupsi ialah di sektor pengadaan barang dan jasa.
“Dari tren penindakan kasus korupsi memang bisa dilihat secara rata-rata lebih dari setengah kasus korupsi di Indonesia itu terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa, hal itu bisa dilihat melalui tiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan, kontrak, pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi dengan sejumlah pola dan indikasi untuk dijadikan modus korupsi baik secara pribadi ataupun bersama-sama“, ungkapnya.
Seperti yang dilansir dari situs hukumonline.com, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Christian Evert menurut data yang diperolehnya mengatakan, “kasus korupsi menurut jenis pengadaan barang dan jasa (PBJ) terbagi dalam 4 lingkup. Dengan kasus korupsi PBJ yang memuat lebih dari setengahnya terjadi di pekerjaan konstruksi sebesar 57 persen. Kemudian pengadaan barang sebesar 32 persen. “Namun, tidak berarti di sektor jasa konsultansi (6 persen) atau jasa lainnya (5 persen) tidak rawan korupsi. Ada juga pekerjaan jasa yang menjadi kasus korupsi“, ungkapnya.
Ia menjelaskan terdapat pola penyelewengan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Hal itu dapat dilihat melalui setiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan, kontrak, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dari setiap tahap-tahap pengadaan barang dan jasa, ICW mencoba memetakan pola-pola penyelewengan yang terjadi. Dalam tahap perencanaan, terdapat 6 pola yakni suap legislatif atau Pejabat Anggaran; pengaturan proyek atau ijon; pengaturan spek; duplikasi proyek; penyelewengan/penggelapan anggaran; dan memecah paket. Sedangkan dalam tahap pemilihan memiliki 5 pola antara lain dokumen admin dan syarat palsu; jual-beli atau sewa dokumen admin dan syarat kualifikasi; persekongkolan horisontal/arisan/pengaturan harga; lalu persekongkolan vertikal dan suap; dan pengubahan spek setelah kompetisi (post-bidding).
Selanjutnya pada tahap kontrak, ICW mengindentifikasi 7 pola penyelewengan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) yang terdiri atas mark-up atau jual ulang; mark-down dan tukar aset atau layanan negara; proxy atau jual bendera; harga timpang; kickback dan komisi; pengubahan kontrak tanpa addendum; serta pengubahan spek setelah pemilihan. Lain halnya dengan pelaksanaan yang miliki 5 pola mulai dari proyek fiktif; proyek terbengkalai/gagal/tidak sesuai spesifikasi; wanprestasi; sub-kontrak illegal; hingga pemerasan dan pungli. Terakhir dalam hal evaluasi memiliki pola penyelewengan berbentuk suap auditor dan pengaturan audit; menghilangkan temuan atau bukti; meringankan hukuman; serah terima sebelum selesai; dan berita acara atau laporan fiktif.
“Kemudian kami mencoba mengidentifikasi indikasi-indikasi yang mungkin bukan penyelewengan, tapi bisa menunjukkan apakah proses pengadaan barang dan jasa itu perlu dimonitor atau disoroti lebih dekat“, terangnya.
Indikasi yang dimaksudkan oleh Christian ialah terbagi lagi dalam masing-masing tahapan pengadaan barang dan jasa. Dalam tahap perencanaan misalnya, bisa dilihat dari RUP tidak segera diumumkan; dokumen penawaran yang copy-paste; syarat dan kriteria tambahan/diskriminatif/mengarah; pengadaan darurat yang tidak wajar; atau PAGU yang sangat tipis perbedaannya dengan HPS. Lalu pada tahap pemilihan, terdapat ‘peserta kameo’ yang cenderung tidak pernah menang, tapi selalu ikut dalam proses penawaran; penawaran copy-paste; peserta tunggal tanpa justifikasi; intervensi PA atau KPA; pengubahan metode; paket gagal/batal; pengumuman terbatas dan pengubahan jadwal; manipulasi bandwidth; hingga daftar hitam tidak diumumkan.
Di tahap kontrak, peneliti senior itu juga soroti rekam jejak buruk; pemenang tidak sesuai hasil evaluasi/syarat tidak lengkap; mendapat banyak paket; alamat tidak sesuai; penyimpangan atau pemotongan transaksi; dan lain-lain. Kemudian dalam tahap pelaksanaan yang menjadi indikasi adalah terkait papan konstruksi tidak ada atau tidak sesuai kontrak; pesaing tender jadi sub kontraktor; serta jaminan tidak wajar.
“Terakhir dalam tahapan evaluasi, pengaduan masyarakat atau peserta tender dan proses sanggah dengan klarifikasi tidak wajar menjadi indikasi yang dicatat ICW.” katanya. (Chandra Foetra S).