Tasikmalaya | intelpostnews.com
Dalam beberapa tahun terakhir dan mengingat sejumlah kejadian diberbagai daerah, angka kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis mengalami peningkatan dan sudah sangat sering terjadi. Untuk itu, sejumlah pihak mendorong agar perlindungan jurnalis diperkuat melalui revisi UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia (DPC) PWRI Kabupaten Tasikmalaya Chandra F. Simatupang sekaligus Wartawan UKW Muda angkatan 43 tahun 2019 menilai, salah satu hambatan pekerja pers saat menjalankan tugas adalah kebijakan pemerintah yang berpotensi mengkriminalisasi kerja-kerja pers. Salah satunya, penerapan sejumlah pasal dalam UU nomor 19 tahun 2016 yang kerap digunakan untuk menyerang balik pekerja jurnalis yang kritis. Sebut saja, penggunaan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terkait penghinaan/pencemaran nama baik dan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian/permusuhan di dunia maya.
“Padahal informasi yang disiarkan karya jurnalistik. Karenanya, revisi terhadap UU ITE merupakan salah satu langkah menguatkan perlindungan terhadap jurnalis,” ujarnya.
Chandra pun menegaskan, Pasal 27 dan 28 UU ITE harus direvisi. Bahkan bila perlu rumusan Pasal 27 dan Pasal 28 itu dihapus untuk menghindari kriminalisasi pekerja jurnalis.
“Pasal 27 dan 28 UU ITE harus direvisi. Bahkan bila perlu rumusan Pasal 27 dan Pasal 28 itu dihapus untuk menghindari kriminalisasi pekerja jurnalis. Banyak jurnalis yang menyebarkan informasi berdasarkan hasil kerja jurnalistik malah berurusan dengan hukum (dijerat UU ITE)“, ucapnya.
Dirinya mengingatkan, kebebasan pers merupakan amanat konstitusi yang dijamin UUD Tahun 1945. Kendatipun tak diatur secara eksplisit, namun elemen kebebasan pers jelas diatur dalam konstitusi. Seperti kebebasan berpikir, menyampaikan pendapat, berkomunikasi dan hak atas informasi. Menurutnya, pengakuan atas kebebasan pers dalam konstitusi negara semestinya tercermin dalam pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari UUD 1945. Sebab, kebebasan pers menjadi salah satu pilar penting sebuah negara hukum dan demokrasi. Karena itu, perlindungan terhadap pers mesti dituangkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Faktanya, tak semua ketentuan peraturan perundang-undangan melindungi media pers dan jurnalisnya. Masih terdapat sejumlah ketentuan yang mengancam dan menggerus hak atas kebebasan pers. Salah satu diantaranya UU ITE.
“Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar pers dengan adanya keluar keputusan bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri soal pedoman implementasi Pasal 27 ayat 1,2,3 dan 4 ; Pasal 28 ayat 2, Pasal 29 dan Pasal 36 UU ITE. Dalam pedoman implementasi Pasal huruf L, dijelaskan, “untuk pemberitaan di internet, yang dilakukan oleh institusi Pers, yang merupakan kerja Jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai lex spesialis, bukan Pasal 27 ayat 3 Undang-undang ITE. Untuk kasus tentang Pers perlu melibatkan Dewan Pers, tetapi jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka akan berlaku Undang-Undang ITE termasuk Pasal 27 ayat 3. Dengan demikian Pers yang bekerja sesuai Undang-Undang Pers, tidak dapat lagi di jerat Pasal 27 ayat 3 yang selama ini jadi momok Pers. Namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini dibeberapa daerah yang selama ini terjadi dan diketahui, bahkan hingga divonis bersalah oleh hakim“, tegas Chandra.
Seperti yang dilansir dari laman kominfo.go.id, Hal senada dikatakan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo meminta pemerintah memperkuat perlindungan terhadap jurnalis melalui revisi UU ITE. Tujuannya, agar pekerja jurnalis mendapatkan kepastian jaminan keamanan dalam menjalankan tugas peliputan di lapangan maupun kegiatan jurnalistik lainnya.
Menurutnya, pemerintah harus memberi perlindungan terhadap media dan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang intinya kebebasan pers merupakan hak asasi. Pasal 28F UUD Tahun 1945 tersebut menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia“.
Meski begitu, Bamsoet begitu biasa disapa, mengingatkan kebebasan pers tetap harus memperhatikan etika dan keseimbangan isi berita. Dia mengingatkan agar insan pers dalam menyampaikan informasi, terlebih dahulu memverifikasi, mengecek ulang konten informasi sebelum dibagikan ke publik. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman informasi maupun pemberitaan bohong di media massa. Sebab informasi masyarakat menjadi barang publik.
“Saya meminta pemerintah memperhatikan dan mendukung peran penting jurnalis yang bebas dan profesional dalam memproduksi dan menyebarkan suatu informasi“, ujarnya.
Mantan Ketua DPR periode 2014-2019 berharap pemerintah memberikan edukasi kepada pers agar dapat menangani kesalahpahaman informasi dari konten-konten berbahaya maupun konten hoaks. Sebab pers berperan membantu pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Politisi Partai Golkar itu pun tak lupa meminta pers agar dapat mendalami tiga fokus utama. Pertama, menempuh langkah dalam memastikan kelangsungan ekonomi media pemberitaan. Kedua, mekanisme dalam memastikan transparansi perusahaan berbasis internet. Ketiga, peningkatan literasi media dan informasi. (Iwan K).